Resensi Buku


   
                                                        Judul Buku                  : BIAS GENDER
Perkawinan Terlarang Pada            Masyarakat Bali
Penulis                         : Jiwa Atmaja
Kota Penerbit             : Denpasar-Bali
Penerbit                      : Udayana University Press
Tahun Terbit              : September 2008
ISBN                           : 978-979-8286-62-9
Tebal Buku                 : xv + 241 halaman
      Peresensi                     : Nyoman Wita Wihayati

Perempuan adalah betina yang bersifat pasif, siap dan menunggu jantan; betina bisa saja “mengundang” jantan, tetapi tidak bisa melaksanakan kopulasi dan pada akhirnya jantanlah yang melakukan kopulasi bahwa kopulasi jantan di atas betina.
            Kata kunci yang dipergunakan dalam kutipan di atas  adalah seksualitas. Di sini, seksualitas didefinisikan tidak secara terbatas, karena sesungguhnya seksualitas lebih bersifat sosiologis dan kultural daripada sekadar hubungan badan antara dua individu.
            Bacaan ini dapat dijadikan inspirasi untuk melangkah dan menentukan pasangan hidup kita kelak. Buku ini mengulas tuntas bentuk-bentuk perkawinan  dalam masyarakat Bali, baik yang masih dijalankan warganya maupun yang tercantum dalam teks-teks sastra dan agama. Berbagai wacana yang berkaitan dengan perkawinan dan seksualitas, seperti asu pundung, alangkahi karang hulu, perkawinan ngunggahin, drati karma, memitra ngalang, lokika sanggaraha, amandal sanggama, gamia gemana atau incest hingga mitologi  mengenai sentana laki-laki, lembaga sentana, dan nyentana yang pelik juga terulas habis dalam buku ini.
Jiwa Atmaja dilahirkan di Denpasar, Bali, bekerja sebagai dosen sastra pada Falkutas Sastra Universitas Udayana. Lulus Pasca-sarjana, Ilmu-ilmu Humaniora, UGM 1987. Bagian tesisnya kemudian diterbitkan dalam buku Novel Eksperimental Putu Wijaya (Angkasa Bandung, 1994). Ia telah menulis sejumlah buku, di antara buku yang telah ditulisnya, buku ini membutuhkan waktu yang paling lama, karena sang penulis tidak ingin menyinggung perasaan pihak mana pun, dan tidak ingin dokumen penting mengenai adat dan kebudayaan  Bali hilang serta tidak diketahui masyarakat luas. Dalam  menulis materi buku ini, Jiwa Atmaja sangat berhati-hati dan mempertaruhkan kesabarannya. Sebuah bab tidak jarang ia tulis ulang, dan editing sampai enam kali lebih, mengoreksi bahasanya, mengurangi bagian yang mungkin menyinggung perasaan , menambahkan bagian yang dianggap perlu, mendukungnya dengan teori tertentu dan kasus yang sama di bagian dunia lain.
            Seperti sebuah cerita yang mengenai Amandal Sanggama  (pembatalan persetubuhan) pada Bab 2 buku ini, diceritakan sang  Pandu  (ayah Arjuna) bersaudara ternyata menderita asubha-phala (nasib buruk) yang sangat mengerikan, yakni menderita duka nestapa karena dikutuk oleh Rsi Kindama agar wafat kalau melakukan sanggama. Sang Pandu benar-benar terkena kutukan itu, sebelum mendengar dan mencapai “surasaning langen”. Ini pun dicapainya setelah melalui kedukaan yang bertahun-tahun dalam menahan hasrat kepriaannya. Apa dosa sang Pandu sampai mengalami hal demikian? Tidak lain, karena panah sang Pandu telah memutuskan sanggama dua ekor kijang yang tengah berkasih-kasihan pada saat belum mencapai puncak rasa. Kisah sang Pandu ini menunjukkan bahwa sanggama binatang saja dihargai, apalagi sanggama manusia beradab, yang melakukan sanggama penuh keluhuran. Nyatanya contoh di atas bukan termasuk amandal sanggama , situasi seksual itu diputus oleh pihak ketiga, bukan bentuk pembangkangan sepihak. Dari cerita di atas akan dapat mencerminkan adanya hak seksual seseorang, tidak boleh dihalangi atau diputus oleh pihak ketiga, sepanjang dilakukan secara sah. Dengan mengingatkan adanya hak menikmati seks secara sah, bukan berarti hubungan badan dapat dilakukan secara bebas.
            Pada Bab berikutnya mengulas tentang memitra ngalang maupun drati kama oleh masyarakat Indonesia disebut perselingkuhan. Perselingkuhan pertama yang agak permanen mungkin dapat disebut kumpul kebo. Apa pun pengertiannya, suami yang melakukan perbuatan drati kama atau tidak memberikan  upajiwa (nafkah lahir dan batin kepada istri sahnya ) dalam batas waktu tertentu, dapat digugat cerai oleh istrinya (Sushila dalam Atmaja, 1988:20).           
Pola perkawinan masyarakat Bali menjadi tampak demikian kompleks. Jika dihubungkan dengan adat kebiasaan yang hanya membolehkan keluarga raja yang melahirkan anak  kembar buncing  sedangkan rakyat biasa dilarang. Alasannya, jika keluarga raja atau puri yang melahirkan anak  kembar buncing, bumi akan subur dan mendatangkan berkah sedangkan anak kembar buncing yang dilahirkan dari keluarga sudra akan mendatangkan malapetaka dan marabahaya. Karena kelahiran anak kembar buncing dalam keluarga biasa dianggap mendatangkan aib, maka mereka dikenai sanksi adat pembuangan serta melakukan upacara tertentu. Hal ini tentu agak mengherankan apabila diingat adanya keputusan DPRD Bali Nomor 10/DPRD Bali/1951 tentang beranak salah, yang secara formal menghapus sanksi manak salah bagi keluarga yang melahirkan anak kembar buncing.
            Mitos anak laki-laki yang terdapat pada bab IV buku ini menjelaskan tentang pentingnya anak laki-laki dalam keluarga Bali. Karena hal itu anak laki-laki sangat diharapkan berkaitan dengan kepercayaan yang menganjurkan adanya anak laki-laki sebagai ahliwaris keluarga baik dalam konteks sekala maupun niskala. Anak laki-laki mempunyai kewajiban melaksanakan upacara pengabenan orangtua atau leluhurnya, sebab itu dipercaya akan membebaskan dan memberi jalan ke sorga bagi para leluhurnya. Anak lelaki juga sangat diperlukan untuk menambah jumlah anggota desa pekraman yang dapat melaksanakan kewajiban banjar atau desa, karena hampir seluruh aktivitas sosial dan keagamaan berpusat di sana. Di samping melaksanakan upacara pengabenan orangtua atau leluhur anak laki-laki juga berkewajiban memelihara dan menyiapkan upacara persembahyangan di kuil keluarga. Pentingnya anak laki-laki dalam sebuah keluarga di Bali menimbulkan ketidakadilan gender yang seakan-akan memberikan nilai yang rendah kepada perempuan atau istri yang tidak menghasilkan anak laki-laki dan mandul. Hal ini dapat diatasi dengan pengangkatan anak laki-laki dari pihak lain, biasanya diusahakan dari keluarga dekat laki-laki yang dalam bahasa bali disebut pengangkatan sentana.
            Pada Bab V di buku ini mengulas tentang perkawinan asu pundung dan alangkahi karang hulu  yang sangat menarik untuk dibicarakan. Perkawinan asu pundung, dan alangkahi karang hulu oleh pihak penguasa Bali dianggap menentang hukum alam semacam itu, karena air mani laki-laki berkasta lebih rendah dialirkan ke atas melalui ovum perempuan yang (kastanya) lebih tinggi. Tindakan  ini sama artinya dengan melangkahi kepala para bangsawan Bali. Karena itu, raja  dan penguasa yang berada di bawahnya wajib menjaga keharmonisan aliran air itu, dan menjatuhkan hukuman berat, apabila ada pihak yang berusaha membalikkannya. Pihak yang dianggap membalikkan aliran air itu dibelokkan dari daratan rendah ke daratan yang tinggi. Kaum sudra merasa berada di daratan rendah itu, sedangkan kaum triwangsa berada di daratan tinggi itu. Hal ini menunjukkan bahwa metafora atau bahasa memiliki kekuatan hegemonik untuk membentuk dan memperalat pemakaiannya serta tidak sekadar alat berkomunikasi.
            Sungguh mulia penulis buku ini yang bertujuan menulis buku ini untuk meluruskan pengertian-pengertian yang menurut pengamatannya telah disalahartikan oleh pihak-pihak yang justru memegang kendali adat itu sendiri. Sang penulis berharap adanya kesegaran pemahaman dari materi yang disampaikan dalam buku ini dan berharap dapat bersama-sama membangun kemanusiaan yang cenderung kita abaikan.
            Sebuah buku yang langka dan mengenai tema yang belum pernah ditulis penulis lain, dengan gaya bertutur yang luar biasa dan stilitistik, serta kritiknya yang tajam membuat kita mulai memikirkan mengenai apa yang telah dan akan kita lakukan mengenai seksualitas, perempuan, dan adat kebiasaan yang kita duga local genius, ternyata masih primitif dan feodal. Buku ini patut dibaca oleh orang yang ingin memahami Bali dari dalam, bukan dari luar dan permukaannya saja. Kelebihan lain dari buku ini adalah didukung oleh berbagai sumber baik dari pengumpulan data tekstual maupun fakta lapangan yang dapat meyakinkan para pembaca akan kebenaran buku ini. Kisah-kisah yang ditampilkan pada buku ini sangat menarik para pembaca sehingga para pembaca akan lebih mengerti tentang apa yang di ulas dalam buku ini. Penjelasan tentang istilah-istilah yang kurang membuming di masyarakat terutama dikalangan anak muda, seperti amandal sanggama, gamia gemana, incest, lokika sanggaraha, dll telah terulas habis dalam buku ini. Dipandang dari sudut fisik buku ini adalah dengan penggunaan kertas yang berstandar dan pada sampul buku ini menggunakan perpaduan warna yang sederhana sehingga tidak begitu mencolok.
            Tidak ada hal yang sempurna di dunia ini, seperti buku ini. Meskipun memiliki  banyak keunggulan tetapi ada juga kekurangan yang terdapat pada buku ini terutama dari segi pengetikan yang banyak terdapat kesalahan  misalnya, pengetikan kalimat tanpa spasi pada halaman 24 dan yang lainnya . Penulis dan penerbit semestinya lebih memperhatikan pengetikan kata demi kata agar lebih menyempurnakan buku ini sehingga lebih terlihat totalitas dalam  memproduksi buku ini. Pada cover buku ini, kalau saja judulnya di ketik dengan tulisan yang sedikit bergaya dan gambar pada cover memakai foto seseorang pasangan yang menikah pasti akan lebih menarik daya pikat pembaca untuk melirik sampai membaca buku ini. Gambar-gambar ilustrasi yang digunakan pada buku ini kurang begitu jelas, buku ini akan lebih mudah dipahami jika menggunakan gambar-gambar yang berwarna. Bagian biografi penulis kurang begitu lengkap, karena tidak menyertakan tanggal lahir dan nama orangtua penulis.
            Secara umum buku ini memang menarik untuk di baca pada kalangan masyarakat, khususnya ditujukan kepada kalangan pria dan wanita yang sudah dewasa yang telah memantapkan diri untuk menikah atau sudah menikah maupun kepada masyarakat yang ingin memahami Bali dari dalam. Sehingga masyarakat akan lebih mendapat inspirasi mengenai adat istiadat yang ada di Bali. Buku ini memiliki nilai budaya yang sangat tinggi dan mampu meningkatkan pengetahuan orang yang membaca buku ini tentang bentuk-bentuk perkawinan yang ada di Bali. Ditulis oleh seorang penulis yang mengabdikan hidupnya secara penuh untuk menulis.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sumpah Pemuda

CERPEN

HARAPANKU